Rabu, 25 Juni 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 51 TAHUN 2009 
TENTANG 
PEKERJAAN KEFARMASIAN 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang  :  bahwa  untuk  melaksanakan  ketentuan  Pasal  63 
Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  1992  tentang 
Kesehatan,  perlu  menetapkan  Peraturan  Pemerintah 
tentang Pekerjaan Kefarmasian; 
Mengingat  :  1.  Pasal  5  ayat  (2)  Undang-Undang  Dasar  Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945; 
2.  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  1992  tentang 
Kesehatan   (Lembaran  Negara  Tahun  1992  Nomor 
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan  :  PERATURAN  PEMERINTAH  TENTANG  PEKERJAAN 
KEFARMASIAN. 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
Pasal 1 
Dalam  Peraturan  Pemerintah  ini  yang  dimaksud 
dengan: 
1.  Pekerjaan  Kefarmasian  adalah  pembuatan 
termasuk  pengendalian  mutu  Sediaan  Farmasi, 
pengamanan,  pengadaan,  penyimpanan  dan 
pendistribusi  atau  penyaluranan  obat,  pengelolaan 
obat,  pelayanan  obat  atas  resep  dokter,  pelayanan 
informasi  obat,  serta  pengembangan  obat,  bahan 
obat dan obat tradisional. 
2. Sediaan . . . 
- 2 - 
2.  Sediaan  Farmasi  adalah  obat,  bahan  obat,  obat 
tradisional dan kosmetika. 
3.  Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan 
Pekerjaan  Kefarmasian,  yang  terdiri  atas  Apoteker 
dan Tenaga Teknis Kefarmasian. 
4.  Pelayanan  Kefarmasian  adalah  suatu  pelayanan 
langsung  dan  bertanggung  jawab  kepada  pasien 
yang  berkaitan  dengan  Sediaan  Farmasi  dengan 
maksud  mencapai  hasil  yang  pasti  untuk 
meningkatkan mutu kehidupan pasien. 
5.  Apoteker  adalah  sarjana  farmasi  yang  telah  lulus 
sebagai  Apoteker  dan  telah  mengucapkan  sumpah 
jabatan Apoteker. 
6.  Tenaga  Teknis  Kefarmasian  adalah  tenaga  yang 
membantu  Apoteker  dalam  menjalani  Pekerjaan 
Kefarmasian,  yang  terdiri  atas  Sarjana  Farmasi, 
Ahli  Madya  Farmasi,  Analis  Farmasi,  dan  Tenaga 
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. 
7.  Fasilitas  Kesehatan  adalah  sarana  yang  digunakan 
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. 
8.  Fasilitas  Kefarmasian  adalah  sarana  yang 
digunakan  untuk  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian. 
9.  Fasilitas  Produksi  Sediaan  Farmasi  adalah  sarana 
yang  digunakan  untuk  memproduksi  obat,  bahan 
baku obat, obat tradisional, dan kosmetika. 
10.  Fasilitas  Distribusi  atau  Penyaluran  Sediaan 
Farmasi  adalah  sarana  yang  digunakan  untuk 
mendistribusikan  atau  menyalurkan  Sediaan 
Farmasi,  yaitu  Pedagang  Besar  Farmasi  dan 
Instalasi Sediaan Farmasi. 
11. Fasilitas . . . 
- 3 - 
11.  Fasilitas  Pelayanan  Kefarmasian  adalah  sarana 
yang  digunakan  untuk  menyelenggarakan 
pelayanan  kefarmasian,  yaitu  apotek,  instalasi 
farmasi  rumah  sakit,  puskesmas,  klinik,  toko  obat, 
atau praktek bersama. 
12.  Pedagang  Besar  Farmasi  adalah  perusahaan 
berbentuk  badan  hukum  yang  memiliki  izin  untuk 
pengadaan,  penyimpanan,  penyaluran  perbekalan 
farmasi  dalam  jumlah  besar  sesuai  ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 
13.  Apotek  adalah  sarana  pelayanan  kefarmasian 
tempat  dilakukan  praktek  kefarmasian  oleh 
Apoteker. 
14.  Toko  Obat  adalah  sarana  yang  memiliki  izin  untuk 
menyimpan  obat-obat  bebas  dan  obat-obat  bebas 
terbatas untuk dijual secara eceran. 
15.  Standar  Profesi  adalah  pedoman  untuk 
menjalankan  praktik  profesi  kefarmasian  secara 
baik. 
16.  Standar  Prosedur  Operasional  adalah  prosedur 
tertulis  berupa  petunjuk  operasional  tentang 
Pekerjaan Kefarmasian. 
17.  Standar  Kefarmasian  adalah  pedoman  untuk 
melakukan  Pekerjaan  Kefarmasian  pada  fasilitas 
produksi,  distribusi  atau  penyaluran,  dan 
pelayanan kefarmasian. 
18.  Asosiasi adalah perhimpunan dari perguruan tinggi 
farmasi yang ada di Indonesia. 
19.  Organisasi  Profesi  adalah  organisasi  tempat 
berhimpun para Apoteker di Indonesia. 
20. Surat . . . 
- 4 - 
20.  Surat  Tanda  Registrasi  Apoteker  selanjutnya 
disingkat STRA adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh  Menteri  kepada  Apoteker  yang  telah 
diregistrasi. 
21.  Surat  Tanda  Registrasi  Tenaga  Teknis  Kefarmasian 
selanjutnya  disingkat  STRTTK  adalah  bukti  tertulis 
yang  diberikan  oleh  Menteri  kepada  Tenaga  Teknis 
Kefarmasian yang telah diregistrasi. 
22.  Surat  Izin  Praktik  Apoteker  selanjutnya  disingkat 
SIPA  adalah  surat  izin  yang  diberikan  kepada 
Apoteker  untuk  dapat  melaksanakan  Pekerjaan 
Kefarmasian  pada  Apotek  atau  Instalasi  Farmasi 
Rumah Sakit. 
23.  Surat  Izin  Kerja  selanjutnya  disingkat  SIK  adalah 
surat  izin  yang  diberikan  kepada  Apoteker  dan 
Tenaga  Teknis  Kefarmasian  untuk  dapat 
melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas 
produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran. 
24.  Rahasia Kedokteran adalah sesuatu yang berkaitan 
dengan  praktek  kedokteran  yang  tidak  boleh 
diketahui  oleh  umum  sesuai  dengan  ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 
25.  Rahasia Kefarmasian adalah Pekerjaan Kefarmasian 
yang  menyangkut  proses  produksi,  proses 
penyaluran  dan  proses  pelayanan  dari  Sediaan 
Farmasi  yang  tidak  boleh  diketahui  oleh  umum 
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangundangan. 
26.  Menteri  adalah  menteri  yang  tugas  dan  tanggung 
jawabnya di bidang kesehatan. 
Pasal 2 . . . 
- 5 - 
Pasal 2 
(1)  Peraturan  Pemerintah  ini  mengatur  Pekerjaan 
Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi 
atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. 
(2)  Pekerjaan  Kefarmasian  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1)  harus   dilakukan   oleh   tenaga 
kesehatan   yang   mempunyai   keahlian   dan 
kewenangan untuk itu. 
Pasal 3 
Pekerjaan  Kefarmasian  dilakukan  berdasarkan  pada 
nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan 
perlindungan  serta  keselamatan  pasien  atau 
masyarakat  yang  berkaitan  dengan  Sediaan  Farmasi 
yang  memenuhi  standar  dan  persyaratan  keamanan, 
mutu, dan kemanfaatan. 
Pasal 4 
Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk: 
a.  memberikan  perlindungan  kepada  pasien  dan 
masyarakat  dalam  memperoleh  dan/atau 
menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian; 
b.  mempertahankan  dan  meningkatkan  mutu 
penyelenggaraan  Pekerjaan  Kefarmasian  sesuai 
dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan 
teknologi  serta  peraturan  perundangan-undangan; 
dan 
c.  memberikan  kepastian  hukum  bagi  pasien, 
masyarakat dan Tenaga Kefarmasian. 
BAB II . . . 
- 6 - 
BAB II 
PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN 
Bagian Kesatu 
Umum 
Pasal 5 
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi: 
a.  Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Pengadaan  Sediaan 
Farmasi; 
b.  Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Produksi  Sediaan 
Farmasi; 
c.  Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Distribusi  atau 
Penyaluran Sediaan Farmasi; dan 
d.  Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Pelayanan  Sediaan 
Farmasi. 
Bagian Kedua 
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan 
Sediaan Farmasi 
Pasal 6 
(1)  Pengadaan  Sediaan  Farmasi  dilakukan  pada 
fasilitas  produksi,  fasilitas  distribusi  atau 
penyaluran  dan  fasilitas   pelayanan  sediaan 
farmasi. 
(2)  Pengadaan  Sediaan  Farmasi  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  harus  dilakukan  oleh 
Tenaga kefarmasian. 
(3)  Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin 
keamanan,  mutu,  manfaat  dan  khasiat  Sediaan 
Farmasi. 
(4) Ketentuan . . . 
- 7 - 
(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara 
pengadaan  Sediaan  Farmasi  sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur 
dalam Peraturan Menteri. 
Bagian Ketiga 
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi 
Sediaan Farmasi 
Pasal 7 
(1)  Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Produksi  Sediaan 
Farmasi  harus  memiliki  Apoteker  penanggung 
jawab. 
(2)  Apoteker  penanggung  jawab  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  dapat  dibantu  oleh 
Apoteker  pendamping  dan/atau  Tenaga  Teknis 
Kefarmasian. 
Pasal 8 
Fasilitas  Produksi  Sediaan  Farmasi  dapat  berupa 
industri  farmasi  obat,  industri  bahan  baku  obat, 
industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika. 
Pasal 9 
(1)  Industri  farmasi  harus  memiliki  3  (tiga)  orang 
Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing 
pada  bidang  pemastian  mutu,  produksi,  dan 
pengawasan  mutu  setiap  produksi  Sediaan 
Farmasi. 
(2) Industri . . . 
- 8 - 
(2)  Industri  obat  tradisional  dan  pabrik  kosmetika 
harus  memiliki  sekurang-kurangnya  1  (satu)  orang 
Apoteker sebagai penanggung jawab. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  Fasilitas  Produksi 
Sediaan  Farmasi  sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal 8 diatur dengan Peraturan Menteri. 
Pasal 10 
Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 harus memenuhi 
ketentuan  Cara  Pembuatan  yang  Baik  yang  ditetapkan 
oleh Menteri. 
Pasal 11 
(1)  Dalam  melakukan  Pekerjaan  Kefarmasian, 
Apoteker  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7 
ayat  (2)  harus  menetapkan  Standar  Prosedur 
Operasional. 
(2)  Standar  Prosedur  Operasional  harus  dibuat  secara 
tertulis  dan  diperbaharui  secara  terus  menerus 
sesuai  dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan 
dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 12 
Pekerjaan  Kefarmasian  yang  berkaitan  dengan  proses 
produksi  dan  pengawasan  mutu  Sediaan  Farmasi  pada 
Fasilitas  Produksi  Sediaan  Farmasi  wajib  dicatat  oleh 
Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya. 
Pasal 13 . . . 
- 9 - 
Pasal 13 
Tenaga  Kefarmasian  dalam  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  pada  Fasilitas  Produksi  Sediaan  Farmasi
harus  mengikuti  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan 
teknologi di bidang produksi dan pengawasan mutu. 
Bagian Keempat 
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau 
Penyaluran Sediaan Farmasi 
Pasal 14 
(1)  Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi  berupa  obat  harus  memiliki  seorang 
Apoteker sebagai penanggung jawab. 
(2)  Apoteker  sebagai  penanggung  jawab  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  dapat  dibantu  oleh 
Apoteker  pendamping  dan/atau  Tenaga  Teknis 
Kefarmasian. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelaksanaan 
Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Fasilitas  Distribusi 
atau  Penyaluran  Sediaan  Farmasi  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diatur  dengan 
Peraturan Menteri. 
Pasal 15 
Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Fasilitas  Distribusi  atau 
Penyaluran  Sediaan  Farmasi  sebagaimana  dimaksud 
dalam  Pasal  14  harus  memenuhi  ketentuan  Cara 
Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri. 
Pasal 16 . . . 
- 10 - 
Pasal 16 
(1)  Dalam  melakukan  Pekerjaan  Kefarmasian, 
Apoteker  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  14 
harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. 
(2)  Standar  Prosedur  Operasional  harus  dibuat  secara 
tertulis  dan  diperbaharui  secara  terus  menerus 
sesuai  dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan 
dan  teknologi  di  bidang  farmasi  dan  sesuai  dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 17 
Pekerjaan  Kefarmasian  yang  berkaitan  dengan  proses 
distribusi  atau  penyaluran  Sediaan  Farmasi  pada 
Fasilitas  Distribusi  atau  Penyaluran  Sediaan  Farmasi 
wajib  dicatat  oleh  Tenaga  Kefarmasian  sesuai  dengan
tugas dan fungsinya. 
Pasal 18 
Tenaga  Kefarmasian  dalam  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  dalam  Fasilitas  Distribusi  atau  Penyaluran 
Sediaan  Farmasi  harus  mengikuti  perkembangan  ilmu 
pengetahuan  dan  teknologi  di  bidang  distribusi  atau
penyaluran. 
Bagian Kelima 
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas 
Pelayanan Kefarmasian 
Pasal 19 
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa : 
a.  Apotek; 
b. Instalasi . . . 
- 11 - 
b.  Instalasi farmasi rumah sakit; 
c.  Puskesmas; 
d.  Klinik; 
e.  Toko Obat; atau 
f.  Praktek bersama. 
Pasal 20 
Dalam  menjalankan  Pekerjaan  kefarmasian  pada 
Fasilitas  Pelayanan  Kefarmasian,  Apoteker  dapat 
dibantu  oleh  Apoteker  pendamping  dan/  atau  Tenaga 
Teknis Kefarmasian. 
Pasal 21 
(1)  Dalam  menjalankan  praktek  kefarmasian  pada 
Fasilitas  Pelayanan  Kefarmasian,  Apoteker  harus 
menerapkan standar pelayanan kefarmasian. 
(2)  Penyerahan  dan  pelayanan  obat  berdasarkan  resep 
dokter dilaksanakan oleh Apoteker. 
(3)  Dalam  hal  di  daerah  terpencil  tidak  terdapat 
Apoteker,  Menteri  dapat  menempatkan  Tenaga 
Teknis  Kefarmasian  yang  telah  memiliki  STRTTK 
pada  sarana  pelayanan  kesehatan  dasar  yang 
diberi  wewenang  untuk  meracik  dan  menyerahkan 
obat kepada pasien. 
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan 
kefarmasian  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
menurut  jenis  Fasilitas  Pelayanan  Kefarmasian 
ditetapkan oleh Menteri. 
(5)  Tata  cara  penempatan  dan  kewenangan  Tenaga 
Teknis  Kefarmasian  di  daerah  terpencil 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan 
Peraturan Menteri. 
Pasal 22 . . . 
- 12 - 
Pasal 22 
Dalam  hal  di  daerah  terpencil  yang  tidak  ada  apotek, 
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda 
Registrasi  mempunyai  wewenang  meracik  dan 
menyerahkan  obat  kepada  pasien  yang  dilaksanakan 
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangundangan. 
Pasal 23 
(1)  Dalam  melakukan  Pekerjaan  Kefarmasian, 
Apoteker  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  20 
harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. 
(2)  Standar  Prosedur  Operasional  harus  dibuat  secara 
tertulis  dan  diperbaharui  secara  terus  menerus 
sesuai  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan 
teknologi  di  bidang  farmasi  dan  ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 
Pasal 24 
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas 
Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat: 
a.  mengangkat  seorang  Apoteker  pendamping  yang 
memiliki SIPA; 
b.  mengganti  obat  merek  dagang  dengan  obat  generik 
yang  sama   komponen  aktifnya  atau  obat  merek 
dagang  lain  atas  persetujuan  dokter  dan/atau 
pasien; dan 
c.  menyerahkan  obat  keras,  narkotika  dan 
psikotropika  kepada  masyarakat  atas  resep  dari 
dokter  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan 
perundang-undangan. 
Pasal 25 . . . 
- 13 - 
Pasal 25 
(1)  Apoteker  dapat  mendirikan  Apotek  dengan  modal 
sendiri  dan/atau  modal  dari  pemilik  modal  baik 
perorangan maupun perusahaan. 
(2)  Dalam  hal  Apoteker  yang  mendirikan  Apotek 
bekerja  sama  dengan  pemilik  modal  maka 
pekerjaan  kefarmasian  harus  tetap  dilakukan 
sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan. 
(3)  Ketentuan  mengenai  kepemilikan  Apotek 
sebagaimana  dimaksud  ayat  (1)  dan  ayat  (2) 
dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan 
perundang-undangan. 
Pasal 26 
(1)  Fasilitas  Pelayanan  Kefarmasian  sebagaimana 
dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  e  dilaksanakan 
oleh  Tenaga  Teknis  Kefarmasian  yang  memiliki 
STRTTK sesuai dengan tugas dan fungsinya. 
(2)  Dalam  menjalankan  praktek  kefarmasian  di  Toko 
Obat,  Tenaga  Teknis  Kefarmasian  harus 
menerapkan  standar  pelayanan  kefarmasian  di 
Toko Obat. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  Fasilitas 
Pelayanan  Kefarmasian  di  Toko  Obat  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  standar  pelayanan 
kefarmasian  di  toko  obat  sebagaimana  dimaksud 
pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. 
Pasal 27 . . . 
- 14 - 
Pasal 27 
Pekerjaan  Kefarmasian  yang  berkaitan  dengan 
pelayanan  farmasi  pada  Fasilitas  Pelayanan 
Kefarmasian  wajib  dicatat  oleh  Tenaga  Kefarmasian 
sesuai dengan tugas dan fungsinya. 
Pasal 28 
Tenaga  Kefarmasian  dalam  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  pada  Fasilitas  Pelayanan  Kefarmasian 
wajib  mengikuti  paradigma  pelayanan  kefarmasian  dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. 
Pasal 29 
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan 
Kefarmasian  pada  Fasilitas  Pelayanan  Kefarmasian 
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  27  diatur  dengan 
Peraturan Menteri. 
Bagian Keenam 
Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian 
Pasal 30 
(1)  Setiap  Tenaga  Kefarmasian  dalam  menjalankan 
Pekerjaan  Kefarmasian  wajib  menyimpan  Rahasia 
Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian. 
(2)  Rahasia  Kedokteran  dan  Rahasia  Kefarmasian 
hanya  dapat  dibuka  untuk  kepentingan  pasien, 
memenuhi  permintaan  hakim  dalam  rangka 
penegakan  hukum,  permintaan  pasien  sendiri 
dan/atau  berdasarkan  ketentuan  peraturan 
perundang-undangan. 
(3) Ketentuan . . . 
- 15 - 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  Rahasia 
Kedokteran  dan  Rahasia  Kefarmasian  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan  Peraturan 
Menteri. 
Bagian Ketujuh 
Kendali Mutu dan Kendali Biaya 
Pasal 31 
(1)  Setiap  Tenaga  Kefarmasian  dalam  melaksanakan 
Pekerjaan  Kefarmasian  wajib  menyelenggarakan 
program kendali mutu dan kendali biaya. 
(2)  Pelaksanaan  kegiatan  kendali  mutu  dan  kendali 
biaya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
dilakukan melalui audit kefarmasian. 
Pasal 32 
Pembinaan  dan  pengawasan  terhadap  audit 
kefarmasian  dan  upaya  lain  dalam  pengendalian  mutu 
dan pengendalian biaya dilaksanakan oleh Menteri. 
BAB III 
TENAGA KEFARMASIAN 
Pasal 33 
(1)  Tenaga Kefarmasian terdiri atas: 
a.  Apoteker; dan 
b.  Tenaga Teknis Kefarmasian. 
(2)  Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud 
pada  ayat  (1)  huruf  b  terdiri  dari  Sarjana  Farmasi,
Ahli  Madya  Farmasi,  Analis  Farmasi,  dan  Tenaga 
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. 
Pasal 34 . . . 
- 16 - 
Pasal 34 
(1)  Tenaga  Kefarmasian  melaksanakan  Pekerjaan 
Kefarmasian pada: 
a.  Fasilitas  Produksi  Sediaan  Farmasi  berupa 
industri  farmasi  obat,  industri  bahan  baku 
obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika 
dan  pabrik  lain  yang  memerlukan  Tenaga 
Kefarmasian  untuk  menjalankan  tugas  dan 
fungsi produksi dan pengawasan mutu; 
b.  Fasilitas  Distribusi  atau  Penyaluran  Sediaan 
Farmasi  dan  alat  kesehatan  melalui  Pedagang 
Besar  Farmasi,  penyalur  alat  kesehatan, 
instalasi  Sediaan  Farmasi  dan  alat  kesehatan 
milik  Pemerintah,  pemerintah  daerah  provinsi, 
dan  pemerintah  daerah  kabupaten/kota; 
dan/atau 
c.  Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik 
di  Apotek,  instalasi  farmasi  rumah  sakit, 
puskesmas,  klinik,  toko  obat,  atau  praktek 
bersama. 
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelaksanaan 
Pekerjaan  Kefarmasian  dimaksud  pada  ayat  (1) 
diatur dalam Peraturan Menteri. 
Pasal 35 
(1)  Tenaga  kefarmasian  sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal  33  harus  memiliki  keahlian  dan  kewenangan 
dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian. 
(2)  Keahlian  dan  kewenangan  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1)  harus  dilaksanakan  dengan 
menerapkan Standar Profesi. 
(3) Dalam . . . 
- 17 - 
(3)  Dalam  melaksanakan  kewenangan  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (2)  harus  didasarkan  pada 
Standar  Kefarmasian,  dan  Standar  Prosedur 
Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan
dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan. 
(4)  Standar  Profesi  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (2)  ditetapkan  sesuai  dengan  peraturan 
perundang-undangan. 
Pasal 36 
(1)  Apoteker  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  33 
ayat  (1)  huruf  a  merupakan  pendidikan  profesi 
setelah sarjana farmasi. 
(2)  Pendidikan profesi Apoteker hanya dapat dilakukan 
pada  perguruan  tinggi  sesuai  peraturan 
perundang-undangan. 
(3)  Standar pendidikan profesi Apoteker terdiri atas: 
a.  komponen kemampuan akademik; dan 
b.  kemampuan  profesi  dalam  mengaplikasikan 
Pekerjaan Kefarmasian. 
(4)  Standar  pendidikan  profesi  Apoteker  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (3)  disusun   dan  diusulkan 
oleh  Asosiasi  di  bidang  pendidikan  farmasi  dan 
ditetapkan oleh Menteri. 
(5)  Peserta  pendidikan  profesi  Apoteker  yang  telah 
lulus  pendidikan  profesi  Apoteker  sebagaimana 
dimaksud pada ayat (3) berhak memperoleh ijazah 
Apoteker dari perguruan tinggi. 
Pasal 37 . . . 
- 18 - 
Pasal 37 
(1)  Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian 
harus memiliki sertifikat kompetensi profesi. 
(2)  Bagi  Apoteker  yang  baru  lulus  pendidikan  profesi, 
dapat  memperoleh  sertifikat  kompetensi  profesi 
secara langsung setelah melakukan registrasi. 
(3)  Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun 
dan  dapat  diperpanjang  untuk  setiap  5  (lima) 
tahun  melalui  uji  kompetensi  profesi  apabila 
Apoteker  tetap  akan  menjalankan  Pekerjaan 
Kefarmasian. 
(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara 
memperoleh  sertifikat  kompetensi  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  tata  cara  registrasi 
profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur 
dengan Peraturan Menteri. 
Pasal 38 
(1)  Standar  pendidikan  Tenaga  Teknis  Kefarmasian 
harus  memenuhi  ketentuan  peraturan  perundangundangan yang berlaku di bidang pendidikan. 
(2)  Peserta  didik  Tenaga  Teknis  Kefarmasian 
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  untuk  dapat 
menjalankan  Pekerjaan  Kefarmasian  harus 
memiliki  ijazah  dari  institusi  pendidikan  sesuai 
peraturan perundang-undangan. 
(3)  Untuk  dapat  menjalankan  Pekerjaan  Kefarmasian 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), peserta didik 
yang  telah  memiliki  ijazah  wajib  memperoleh 
rekomendasi  dari  Apoteker  yang  memiliki  STRA  di 
tempat yang bersangkutan bekerja. 
(4) Ijazah . . . 
- 19 - 
(4)  Ijazah  dan  rekomendasi  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (3)  wajib  diserahkan  kepada  Dinas 
Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin 
kerja. 
Pasal 39 
(1)  Setiap  Tenaga  Kefarmasian  yang  melakukan 
Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki 
surat tanda registrasi. 
(2)  Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) diperuntukkan bagi: 
a.  Apoteker berupa STRA; dan 
b.  Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK. 
Pasal 40 
(1)  Untuk  memperoleh  STRA,  Apoteker  harus 
memenuhi persyaratan: 
a.  memiliki ijazah Apoteker; 
b.  memiliki sertifikat kompetensi profesi; 
c.  mempunyai  surat  pernyataan  telah 
mengucapkan sumpah/janji Apoteker; 
d.  mempunyai  surat  keterangan  sehat  fisik  dan 
mental  dari  dokter  yang  memiliki  surat  izin 
praktik; dan 
e.  membuat  pernyataan  akan  mematuhi  dan 
melaksanakan ketentuan etika profesi. 
(2)  STRA dikeluarkan oleh Menteri. 
Pasal 41 . . . 
- 20 - 
Pasal 41 
STRA  berlaku  selama  5  (lima)  tahun  dan  dapat 
diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila 
memenuhi  syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal 40 ayat (1). 
Pasal 42 
(1)  Apoteker  lulusan  luar  negeri  yang  akan 
menjalankan  Pekerjaan  Kefarmasian  di  Indonesia 
harus  memiliki  STRA  setelah  melakukan  adaptasi 
pendidikan. 
(2)  STRA  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dapat 
berupa: 
a.  STRA  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  40 
ayat (1); atau 
b.  STRA Khusus. 
(3)  Adaptasi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
dilakukan  pada  institusi  pendidikan  Apoteker  di 
Indonesia yang terakreditasi. 
(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara 
pemberian  STRA,  atau  STRA  Khusus  sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2), dan pelaksanaan adaptasi 
pendidikan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3) 
diatur dengan Peraturan Menteri. 
Pasal 43 
STRA  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  42  ayat  (2) 
huruf a diberikan kepada: 
a. Apoteker . . . 
- 21 - 
a.  Apoteker  warga  negara  Indonesia  lulusan  luar 
negeri  yang  telah  melakukan  adaptasi  pendidikan 
Apoteker  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  42 
ayat  (3)  di  Indonesia  dan  memiliki  sertifikat 
kompetensi profesi; 
b.  Apoteker  warga  negara  asing  lulusan  program 
pendidikan  Apoteker  di  Indonesia  yang  telah 
memiliki  sertifikat  kompetensi  profesi  dan  telah 
memiliki  izin  tinggal  tetap  untuk  bekerja  sesuai 
dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan 
di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian; atau 
c.  Apoteker  warga  negara  asing  lulusan  program 
pendidikan  Apoteker  di  luar  negeri  dengan 
ketentuan: 
1.  telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker 
di Indonesia; 
2.  telah  memiliki  sertifikat  kompetensi  profesi; 
dan 
3.  telah  memenuhi  persyaratan  untuk  bekerja 
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan 
perundang-undangan  di  bidang 
ketenagakerjaan dan keimigrasian. 
Pasal 44 
STRA  Khusus  sebagaimana  dimaksud  pada  Pasal  42 
ayat (2) huruf b dapat diberikan kepada Apoteker warga 
negara asing lulusan luar negeri dengan syarat: 
1.  atas  permohonan  dari  instansi  pemerintah  atau 
swasta; 
2.  mendapat persetujuan Menteri; dan 
3.  Pekerjaan  Kefarmasian  dilakukan  kurang  dari 
1 (satu) tahun. 
Pasal 45 . . . 
- 22 - 
Pasal 45 
(1)  Penyelenggaraan adaptasi pendidikan Apoteker bagi 
Apoteker  lulusan  luar  negeri  dilakukan  pada 
institusi pendidikan Apoteker di Indonesia. 
(2)  Apoteker  lulusan  luar  negeri  sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan 
yang  berlaku  dalam  bidang  pendidikan  dan 
memiliki sertifikat kompetensi. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  adaptasi 
pendidikan  Apoteker  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (1)  diatur  oleh  Menteri  setelah  mendapatkan 
pertimbangan  dari  menteri  yang  tugas  dan 
tanggung jawabnya di bidang pendidikan. 
Pasal 46 
Kewajiban  perpanjangan  registrasi  bagi  Apoteker 
lulusan  luar  negeri  yang  akan  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  di  Indonesia  mengikuti  ketentuan 
perpanjangan  registrasi  bagi  Apoteker  sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 41. 
Pasal 47 
(1)  Untuk  memperoleh  STRTTK  bagi  Tenaga  Teknis 
Kefarmasian wajib memenuhi persyaratan: 
a.  memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya; 
b.  memiliki  surat  keterangan  sehat  fisik  dan 
mental  dari  dokter  yang  memiliki  surat  izin 
praktek; 
c.   memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari 
Apoteker  yang  telah  memiliki  STRA  di  tempat 
Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan 
d. membuat . . . 
- 23 - 
d.  membuat  pernyataan  akan  mematuhi  dan 
melaksanakan ketentuan etika kefarmasian. 
(2)  STRTTK dikeluarkan oleh Menteri. 
(3)  Menteri  dapat  mendelegasikan  pemberian  STRTTK 
kepada  pejabat  kesehatan  yang  berwenang  pada 
pemerintah daerah provinsi. 
Pasal 48 
STRTTK  berlaku  selama  5  (lima)  tahun  dan  dapat 
diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila 
memenuhi  syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal 47 ayat (1). 
Pasal 49 
STRA, STRA Khusus, dan STRTTK tidak berlaku karena:
a.  habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh 
yang  bersangkutan  atau  tidak  memenuhi 
persyaratan untuk diperpanjang; 
b.  dicabut  atas  dasar  ketentuan  peraturan 
perundang-undangan; 
c.  permohonan yang bersangkutan; 
d.  yang bersangkutan meninggal dunia; atau 
e.  dicabut  oleh  Menteri  atau  pejabat  kesehatan  yang 
berwenang. 
Pasal 50 
(1)  Apoteker  yang  telah  memiliki  STRA,  atau  STRA 
Khusus,  serta  Tenaga  Teknis  Kefarmasian  yang 
telah memiliki STRTTK harus melakukan Pekerjaan 
Kefarmasian  sesuai  dengan  pendidikan  dan 
kompetensi yang dimiliki. 
(2) Tenaga . . . 
- 24 - 
(2)  Tenaga  Teknis  Kefarmasian  yang  telah  memiliki 
STRTTK  mempunyai  wewenang  untuk  melakukan 
Pekerjaan  Kefarmasian  dibawah  bimbingan  dan 
pengawasan  Apoteker  yang  telah  memiliki  STRA 
sesuai  dengan  pendidikan  dan  keterampilan  yang 
dimilikinya. 
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  wewenang  Tenaga 
Teknis  Kefarmasian  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. 
Pasal 51 
(1)  Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau 
instalasi  farmasi  rumah  sakit  hanya  dapat 
dilakukan oleh Apoteker. 
(2)  Apoteker  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
wajib memiliki STRA. 
(3)  Dalam  melaksanakan  tugas  Pelayanan 
Kefarmasian  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1), 
Apoteker  dapat  dibantu  oleh  Tenaga  Teknis 
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK. 
Pasal 52 
(1)  Setiap  Tenaga  Kefarmasian  yang  melaksanakan 
Pekerjaan  Kefarmasian  di  Indonesia  wajib  memiliki 
surat  izin  sesuai  tempat  Tenaga  Kefarmasian 
bekerja. 
(2)  Surat  izin  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
dapat berupa: 
a.  SIPA  bagi  Apoteker  yang  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  di  Apotek,  puskesmas  atau 
instalasi farmasi rumah sakit; 
b. SIPA . . . 
- 25 - 
b.  SIPA  bagi  Apoteker  yang  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping; 
c.  SIK  bagi  Apoteker  yang  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  di  fasilitas  kefarmasian  diluar 
Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau 
d.  SIK  bagi  Tenaga  Teknis  Kefarmasian  yang 
melakukan  Pekerjaan  Kefarmasian  pada 
Fasilitas Kefarmasian. 
Pasal 53 
(1)  Surat  izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  52 
dikeluarkan  oleh  pejabat  kesehatan  yang 
berwenang  di  Kabupaten/Kota  tempat  Pekerjaan 
Kefarmasian dilakukan. 
(2)  Tata  cara  pemberian  surat  izin  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  dikeluarkan  berdasarkan 
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 
Pasal 54 
(1)  Apoteker  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  52
ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik 
di  1  (satu)  Apotik,  atau  puskesmas  atau  instalasi 
farmasi rumah sakit. 
(2)  Apoteker  pendamping  sebagaimana  dimaksud 
dalam  Pasal  52  ayat  (2)  huruf  b  hanya  dapat 
melaksanakan  praktik  paling  banyak  di  3  (tiga) 
Apotek,  atau  puskesmas  atau  instalasi  farmasi 
rumah sakit. 
Pasal 55 
(1)  Untuk  mendapat  surat  izin  sebagaimana  dimaksud 
dalam  Pasal  52,  Tenaga  Kefarmasian  harus 
memiliki: 
a. STRA . . . 
- 26 - 
a.  STRA,  STRA  Khusus,  atau  STRTTK  yang  masih 
berlaku; 
b.  tempat  atau  ada  tempat  untuk  melakukan 
Pekerjaan  Kefarmasian  atau  fasilitas 
kefarmasian  atau  Fasilitas  Kesehatan  yang 
memiliki izin; dan 
c.  rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat. 
(2)  Surat  Izin  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
batal  demi  hukum  apabila  Pekerjaan  Kefarmasian 
dilakukan  pada  tempat  yang  tidak  sesuai  dengan 
yang tercantum dalam surat izin. 
BAB IV 
DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN 
Pasal 56 
Penegakkan  disiplin  Tenaga  Kefarmasian  dalam 
menyelenggarakan  Pekerjaan  Kefarmasian  dilakukan 
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangundangan. 
Pasal 57 
Pelaksanaan  penegakan  disiplin  Tenaga  Kefarmasian 
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  56  dilaksanakan 
sesuai  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  yang 
berlaku. 
BAB V 
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 
Pasal 58 
Menteri,  Pemerintah  Daerah  Provinsi,  Pemerintah 
Daerah  Kabupaten/Kota  sesuai  kewenangannya  serta 
Organisasi  Profesi  membina  dan  mengawasi 
pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian. 
Pasal 59 . . . 
- 27 - 
Pasal 59 
(1)  Pembinaan  dan  pengawasan  sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 58 diarahkan untuk: 
a.  melindungi  pasien  dan  masyarakat  dalam  hal 
pelaksanaan   Pekerjaan  Kefarmasian  yang 
dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian; 
b.  mempertahankan  dan  meningkatkan  mutu 
Pekerjaan  Kefarmasian  sesuai  dengan 
perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan 
teknologi; dan 
c.  memberikan  kepastian  hukum  bagi  pasien, 
masyarakat, dan Tenaga Kefarmasian. 
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pembinaan  dan 
pengawasan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
diatur dengan Peraturan Menteri. 
BAB VI 
KETENTUAN PERALIHAN 
Pasal 60 
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: 
1.  Apoteker  yang  telah  memiliki  Surat  Penugasan 
dan/atau  Surat  Izin  Apoteker  dan/atau  SIK,  tetap 
dapat  menjalankan  Pekerjaan  Kefarmasian  dan 
dalam  jangka  waktu  2  (dua)  tahun  wajib 
menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. 
2.  Asisten  Apoteker  dan  Analis  Farmasi  yang  telah 
memiliki  Surat  Izin  Asisten  Apoteker  dan/atau  SIK, 
tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan 
dalam  jangka  waktu  2  (dua)  tahun  wajib 
menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. 
Pasal 61 . . . 
- 28 - 
Pasal 61 
Apoteker  dan  Asisten  Apoteker  yang  dalam  jangka 
waktu  2  (dua)  tahun  belum  memenuhi  persyaratan 
sebagaimana  diatur  dalam  Peraturan  Pemerintah  ini, 
maka  surat  izin  untuk  menjalankan  Pekerjaan 
Kefarmasian batal demi hukum. 
Pasal 62 
Tenaga  Teknis  Kefarmasian  yang  menjadi  penanggung 
jawab  Pedagang  Besar  Farmasi  harus  menyesuaikan 
dengan  ketentuan  Peraturan  Pemerintah  ini  paling 
lambat  3  (tiga)  tahun  sejak  Peraturan  Pemerintah  ini 
diundangkan. 
BAB VII 
KETENTUAN PENUTUP 
Pasal 63 
Pada  saat  Peraturan  Pemerintah  ini  mulai  berlaku, 
Peraturan  Pemerintah  Nomor  26  Tahun  1965  tentang 
Apotik  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 
1965  Nomor  44,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia  Nomor  2752),  sebagaimana  diubah  dengan 
Peraturan  Pemerintah  Nomor  25  Tahun  1980  tentang 
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 
tentang  Apotik   (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia
Tahun  1980  Nomor  40,  Tambahan  Lembaran  Negara 
Republik  Indonesia  Nomor  3169)  dan  Peraturan 
Pemerintah  Nomor  41  Tahun  1990  tentang  Masa  Bakti 
Dan  Izin  Kerja  Apoteker  (Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia  Tahun  1990  Nomor  55,  Tambahan  Lembaran 
Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3422),  dicabut  dan 
dinyatakan tidak berlaku. 
Pasal 64 
Peraturan  Pemerintah  ini  mulai  berlaku  pada  tanggal
diundangkan. 
Agar . . . 
- 29 - 
Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan 
pengundangan   Peraturan  Pemerintah  ini  dengan 
penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia. 
Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal 1 September 2009 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 1 September 2009 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 
REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
ANDI MATTALATTA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR124  
PENJELASAN 
ATAS 
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 51 TAHUN 2009 
TENTANG 
PEKERJAAN KEFARMASIAN 
I.  U M U M 
Pembangunan  bidang  kesehatan  pada  dasarnya  ditujukan  untuk 
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidupsehat bagi 
setiap  orang  untuk  mewujudkan  derajat  kesehatan  yang  optimal 
sebagai  salah  satu  unsur  kesejahteraan  sebagaimana  diamanatkan 
oleh  Pembukaan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia 
Tahun 1945. 
Tenaga  Kefarmasian  sebagai  salah  satu  tenaga  kesehatan  pemberi 
pelayanan  kesehatan  kepada  masyarakat  mempunyai  peranan  penting 
karena  terkait  langsung  dengan  pemberian  pelayanan, khususnya 
Pelayanan Kefarmasian. 
Sejalan  dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  di 
bidang  kefarmasian  telah  terjadi  pergeseran  orientasi  Pelayanan 
Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi  kepada pelayanan 
yang  komprehensif  (pharmaceutical  care)  dalam  pengertian  tidak  saja 
sebagai  pengelola  obat  namun  dalam  pengertian  yang  lebih  luas 
mencakup  pelaksanaan  pemberian  informasi  untuk  mendukung 
penggunaan  obat  yang  benar  dan  rasional,  monitoring penggunaan 
obat  untuk  mengetahui  tujuan  akhir  serta  kemungkinan  terjadinya 
kesalahan pengobatan (medication error). 
Perangkat  hukum  yang  mengatur  penyelenggaraan  praktik 
kefarmasian  dirasakan  belum  memadai,  selama  ini  masih  didominasi 
oleh  kebutuhan  formal  dan  kepentingan  Pemerintah,  dan  belum 
memberdayakan  Organisasi  Profesi  dan  pemerintah  daerah  sejalan 
dengan  era  otonomi.  Sementara  itu  berbagai  upaya  hukum  yang 
dengan . . . 
- 2 - 
dilakukan  dalam  memberikan  perlindungan  menyeluruh  kepada 
masyarakat  sebagai  penerima  pelayanan,  dan  Tenaga  Kefarmasian 
sebagai  pemberi  pelayanan  telah  banyak  dilakukan,  akan  tetapi 
dirasakan  masih  belum  memadai  karena  kemajuan  ilmu  pengetahuan 
dan  teknologi  yang  berkembang  sangat  cepat  tidak  seimbang  dengan 
perkembangan hukum. 
Dalam  rangka  memberikan  kepastian  hukum  dan  perlindungan 
hukum,  untuk  meningkatkan,  mengarahkan  dan  memberi  landasan 
hukum  serta  menata  kembali  berbagai  perangkat  hukum yang 
mengatur  penyelenggaraan  praktik  kefarmasian  agar  dapat  berjalan 
sesuai  dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi,  maka 
perlu  mengatur  Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  suatu  peraturan 
pemerintah. 
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur: 
1.  Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian; 
2.  Penyelenggaraan  Pekerjaan  Kefarmasian  dalam  Pengadaan, 
Produksi,  Distribusi,  atau  Penyaluran  dan  Pelayanan Sediaan 
Farmasi; 
3.  Tenaga Kefarmasian; 
4.  Disiplin Tenaga Kefarmasian; serta 
5.  Pembinaan dan Pengawasan; 
II.  PASAL DEMI PASAL 
 Pasal 1 
Cukup jelas. 
 Pasal 2 
Cukup jelas. 
Pasal 3 . . . 
- 3 - 
 Pasal 3 
Yang dimaksud dengan : 
a.  ”Nilai Ilmiah” adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan 
pada  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  yang  diperoleh  dalam 
pendidikan  termasuk  pendidikan  berkelanjutan  maupun
pengalaman serta etika profesi. 
b.  ”Keadilan”  adalah  penyelenggaraan  Pekerjaan  Kefarmasian 
harus  mampu  memberikan  pelayanan  yang  adil  dan  merata 
kepada  setiap  orang  dengan  biaya  yang  terjangkau  serta 
pelayanan yang bermutu. 
c.  ”Kemanusiaan”  adalah  dalam  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian harus memberikan perlakuan yang sama dengan 
tidak  membedakan  suku,  bangsa,  agama,  status  sosial dan 
ras. 
d.  ”Keseimbangan”  adalah  dalam  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  harus  tetap  menjaga  keserasian  serta 
keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. 
e.  ”Perlindungan  dan  keselamatan”  adalah  Pekerjaan 
Kefarmasian  tidak  hanya  memberikan  pelayanan  kesehatan 
semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat 
kesehatan pasien. 
 Pasal 4 
Cukup jelas. 
 Pasal 5 
Cukup jelas. 
 Pasal 6 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) . . . 
- 4 - 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Yang  dimaksud  dengan  tata  cara  dalam  ayat  ini  untuk sektor 
pemerintah mengikuti peraturan yang berlaku. 
Pasal 7 
Cukup jelas. 
 Pasal 8 
Cukup jelas. 
Pasal 9 
Cukup jelas. 
Pasal 10 
Yang  dimaksud  dengan  ”Cara  Pembuatan  Yang  Baik”  adalah 
petunjuk  yang  menyangkut  segala  aspek  dalam  produksi  dan 
pengendalian  mutu  meliputi  seluruh  rangkaian  pembuatan  obat 
yang  bertujuan  untuk  menjamin  agar  produk  obat  yang
dihasilkan  memenuhi  persyaratan  mutu  yang  telah  ditetapkan 
sesuai dengan tujuan penggunaannya. 
Pasal 11 
Ayat (1) 
   Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Keharusan  memperbaharui  Standar  Prosedur  Operasional 
dimaksudkan  agar  dapat  mengikuti  perkembangan  ilmu 
pengetahuan  dan  meningkatkan  mutu  pelayanan  yang  lebih 
baik.  
Pasal 12 . . . 
- 5 - 
Pasal 12 
Kewajiban  untuk  melakukan  pencatatan  dimaksudkan  sebagai  alat 
kontrol  dalam  rangka  pengawasan  mutu  Sediaan  Farmasi  yang 
disesuaikan dengan prosedur Cara Pembuatan yang Baik. 
Pasal 13 
Kewajiban  mengikuti  perkembangan  ilmu  pengetahuan  disamping 
sebagai  tuntutan  etika  profesi  juga  dalam  rangka  untuk 
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian. 
Pasal 14 
 Cukup jelas. 
Pasal 15 
Yang  dimaksud  dengan  “Cara  Distribusi  Obat  Yang  Baik”  adalah 
suatu  pedoman  yang  harus  diikuti  dalam  pendistribusian  obat  yang 
ditetapkan oleh Menteri. 
Pasal 16 
 Cukup jelas. 
Pasal 17 
 Cukup jelas. 
Pasal 18 
Cukup jelas. 
Pasal 19 
Cukup jelas. 
Pasal 20 
Cukup jelas. 
Pasal 21 . . . 
- 6 - 
Pasal 21 
 Cukup jelas. 
Pasal 22 
 Cukup jelas. 
Pasal 23 
 Cukup jelas. 
Pasal 24 
Huruf a 
 Cukup jelas. 
Huruf b 
 Penggantian  obat  merek  dagang  dengan  obat  generik  yang 
sama  dimaksudkan  untuk  memberikan  kesempatan  kepada
pasien yang kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat 
membeli obat dengan mutu yang baik. 
Huruf c 
Cukup jelas  
Pasal 25 
 Ayat (1) 
Dalam ketentuan ini Apoteker yang mendirikan Apotekdengan 
modal sendiri melakukan sepenuhnya Pekerjaan Kefarmasian. 
Ayat (2) 
Dalam  ketentuan  ini  dimaksudkan  untuk  menghindari 
pekerjaan  kefarmasian  dilakukan  oleh  yang  tidak  memiliki 
kompetensi dan wewenang. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Pasal 26 . . . 
- 7 - 
Pasal 26 
 Cukup jelas. 
Pasal 27 
 Cukup jelas. 
Pasal 28 
 Cukup jelas. 
Pasal 29 
 Cukup jelas. 
Pasal 30 
Ayat (1) 
Pemberian  obat  oleh  dokter  pada  dasarnya  mempunyai  hubungan 
sangat  erat  dengan  Pekerjaan  Kefarmasian  di  mana  obat   pada 
dasarnya  mempunyai  fungsi  mempengaruhi  atau  menyelidiki 
sistem  fisiologi  atau  keadaan  patologi  dalam  rangka penetapan 
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan  peningkatan 
kesehatan,  oleh  karena  itu  perlu  dijaga  kerahasiaannya  dan 
agar tidak menimbulkan dampak negatif kepada pasien. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Pasal 31 
 Ayat (1) 
Yang  dimaksud  dengan  “kendali  mutu”  dalam  ayat  ini  adalah 
suatu  sistem  pemberian  Pelayanan  Kefarmasian  yang  efektif, 
efisien,  dan  berkualitas  dalam  memenuhi  kebutuhan 
Pelayanan Kefarmasian. 
Yang . . . 
- 8 - 
Yang  dimaksud  dengan  “kendali  biaya”  adalah  Pelayanan 
Kefarmasian  yang  benar-benar  sesuai  dengan  kebutuhan  dan 
didasarkan  pada   harga  yang  sesuai  dengan  ketentuan
perundang-undangan. 
Ayat (2) 
Yang  dimaksud  dengan  “audit  kefarmasian”  adalah  upaya 
evaluasi  secara  profesional  terhadap  mutu  Pelayanan
Kefarmasian  yang  diberikan  kepada  masyarakat  yang  dibuat 
oleh  Organisasi  Profesi  atau  Asosiasi  Institusi  Pendidikan 
Farmasi.  
Pasal 32 
 Cukup jelas. 
Pasal 33 
 Cukup jelas 
Pasal 34 
 Cukup jelas. 
Pasal 35 
Ayat (1) 
Keahlian  dan  kewenangan  Tenaga  Kefarmasian  dibuktikan 
dengan memiliki surat izin praktik. 
Terhadap  tenaga  kesehatan  di  luar  Tenaga  Kefarmasian  juga 
dapat  diberikan  kewenangan  melakukan  Pekerjaan 
Kefarmasian  yang   dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 
 Ayat (2) 
Cukup jelas.  
Ayat (3) . . . 
- 9 - 
Ayat (3) 
Standar  kefarmasian  pada  sarana  produksi  adalah  cara 
pembuatan  yang  baik  (Good  Manufacturing  Practices), pada 
sarana  distribusi  adalah  cara  distribusi  yang  baik  (Good 
Distribution Practices), dan pada sarana pelayanan adalah cara 
pelayanan yang baik (Good Pharmacy Practices). 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Pasal 36 
Cukup jelas. 
Pasal 37 
Ayat (1) 
Yang  dimaksud  dengan  “sertifikat  kompetensi”  adalah
pernyataan tertulis bahwa seseorang memiliki kompetensi. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Pasal 38 
Cukup jelas. 
Pasal 39 
Cukup jelas. 
Pasal 40 
Cukup jelas. 
Pasal 41 . . . 
- 10 - 
Pasal 41 
Cukup jelas. 
Pasal 42 
Cukup jelas. 
Pasal 43 
Cukup jelas. 
Pasal 44 
Cukup jelas. 
Pasal 45 
Ayat (1) 
Adaptasi  dilakukan  melalui  evaluasi  terhadap  kemampuan 
untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Pasal 46 
Cukup jelas. 
Pasal 47 
Cukup jelas. 
Pasal 48 
Cukup jelas. 
Pasal 49 
Cukup jelas. 
Pasal 50 . . . 
- 11 - 
Pasal 50 
Cukup jelas. 
Pasal 51 
 Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Dalam  hal  Apoteker  dibantu  oleh  Tenaga  Teknis  Kefarmasian, 
pelaksanaan  pelayanan  Kefarmasian  tetap  dilakukan  oleh 
Apoteker  dan  tanggung  jawab  tetap  berada  di  tangan 
Apoteker. 
Pasal 52 
Cukup jelas. 
Pasal 53 
Cukup jelas. 
Pasal 54 
Cukup jelas. 
Pasal 55 
Cukup jelas. 
Pasal 56 
Cukup jelas. 
Pasal 57 
Cukup jelas. 
Pasal 58 . . . 
- 12 - 
Pasal 58 
Cukup jelas. 
Pasal 59 
Cukup jelas. 
Pasal 60 
Cukup jelas. 
Pasal 61 
Cukup jelas. 
Pasal 62 
Cukup jelas. 
Pasal 63 
Cukup jelas. 
Pasal 64 
Cukup jelas. 
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5044 

0 komentar:

Posting Komentar